Minggu, 26 Oktober 2014

BEGADANG JANGAN BEGADANG...


Hidup telah memberikan kepadaku begitu banyak kesempatan. Kesempatan untuk tersenyum, kesempatan untuk mengasihi, kesempatan untuk berkarya, untuk belajar dan kesempatan untuk yang lain.
How Wonderful life...
Aku sendiri begitu mensyukuri untuk semua kesempatan itu,
Bukan berarti kesempatan yang diberikan kepadaku selalu indah,
Aku pernah putus asa, pernah merasa berada di dasar jurang..
Bahkan hingga kini aku masih sering bertanya: ”Kenapa mesti seperti ini,” :D
Namun...hidup ini adalah kesempatan,
Setidak mengertinya aku akan apa yang sedang terjadi,
Ya, itulah kesempatanku....
Untuk belajar....Menuju Rasa Syukur,


Dan aku mau terus...belajar mensyukurinya...
Mensyukuri segala yang telah berlalu, untuk semua kisah dan kesempatan dalam hidupku..untuk masa remaja dan masa mudaku yang penuh warna.

Nah, ini adalah sebuah kisah Klasik masa remajaku.
Sebenarnya ini bukan karyaku, tapi coretan seorang sahabat baik di sebuah bukuku. Aku tuliskan kembali ya sahabat,, 



SMILING TUR

Tari Pujiwati

”Akhirnya sampai di Boyolali. Makan dulu yuk!” Plekek menyeret tas tipisnya.

”Makan apaan, tasmu aja tipis gitu,” Pendhi melotot pada Plekek.

”Beli dong, nih liat tebelkan?” Plekek memamerkan dompetnya. ”Udah ah, beli rokok dulu ya..” Plekek ngloyor menyebrang jalan.

”Cepet gih, nanti bisnya datang lagi,” Tari berteriak kecil.



Sesaat setelah Plekek sampai terlihat sebuah bis mini, tapi tampak penuh banget. 
”Bis terakhir mas. Bisnya kosong mas, gak ada orang,” Sang Kernet mulai mengumbar rayuannya.

”Trus yang di dalam siapa bang?” celetuk seseorang, entah siapa.

”Gimana Nang? Ikut Nggak?” Krisna bertanya pada Danang.

”Mo gimana lagi. Udah sore, nanti kemaleman kita,” Danang menjawab. ”Gimana pe?” tanyanya pada Pendhi.

”Iya..tapi gimana bisa bergelantungan kayak monyet aja kita sulit,” Plekek menirukan iklan di TV.

”Di atas aja mas, masih kosong,” Kernet kembali melancarkan obralannya.

”Heh, emang kita barang apaan? Eh manusia apaan?” lagi-lagi Plekek protes.

”Udah deh, kita ikut. Tuh ada temennya. Nanti Krisna sama Tari di dalam aja. Nggak papa kan kalau berdiri?”  tanya Danang pada Tari dan Krisna.

”Ndak papa, tapi kalian..?” Krisna bertanya khawatir.

”Kami malah dapat tempat duduk nyaman,” Pendhi tersenyum lebar.



”Perjalanan menuju ke Merbabu kali ini kayaknya bakal berkesan Ri, kayak naik bis tingkat aja,” Krisna berkata pada Tari.

”Hah...hi..hi...hi... pasti dech mereka mengigil kedinginan. Nandi deh kalau turun kita ledek mereka,” Tari dan Krisna tertawa bersamaan.



Sampai di sebuah Pasar, ternyata mereka harus ganti bis.

”Uh, untung dech dapat tempat duduk di dalam,” Pendhi bersungut-sungut kesal.

”Emang enak naik bis tingkat...hahaha,” Krisna dan Tari tertawa bersamaan.

”Ngledek ya...Segitu senengnya liat teman susah.,” Pendhi masih cemberut, yang lain hanya tertawa terpingkal-pingkal. 
Kelima remaja itu tidak memperdulikan penumpang yang lain. Bahkan keceriaan kelima remaja itu berimbas pada penumpang yang lain. Apalagi ketika terdengar sebuah lagu yang dinyayikan Roma Irama dari kaset yang diputar sopir bus. ”Begadang jangan begadang....kalau tiada artinya...begadang boleh saja...kalau ada artinya...,” Spontan kelima remaja itu tertawa terbahak-bahak. Para penumpang lainnya hanya terbenggong melihat keakraban mereka.



Bus berhenti diperhentian terakhir. Di Selo. Kelima remaja itu turun dengan bahagia.

”Eh kita ke kantor polisi dulu ya?” Danang berkata kepada teman-temannya.

”Napa Nang...Ibu kamu ilang? Sampai harus lapor Pak Polisi segala atau jangan-jangan kamu nyuri ayam tetanggaku?” Tanya Plekek serius.

”Brengsek lo...Elo mo gue serahin ke Polisi,” Danang berkata sewot.

Krisna, Pendhi dan Tari tertawa melihat kedua temannya.



Ternyata bangunan kecil itu adalah sebuah Pos Polisi. Danang melaporkan pendakian kami dan bertanya tentang cuaca berhubungan dengan rencana EMAPAL, organisasi pecinta alam mereka yang mau mengadakan pendakian massal.

Setelah dari Pos Polisi mereka menuju ke sebuah gedung TK yang berada di dekat Pos Polisi.  Danang segera berlari berebut dengan Krisna naik ayunan. Sedang Plekek dan Pendhi berebut ke kamar mandi yang hanya satu. Rupanya plekek yang menang. Tiba-tiba...gedebuk...Danang terjatuh dari ayunan. Tari hanya terbengong kemudian ikut tertawa melihat Krisna tertawa ngakak. Plekek yang melihat pun langsung melontarkan pujian. ”Aduh sayang, anak papa udah bisa main ayunan. Kacian, jatuh ya...tuh..tuh..kataknya udah lari..”

Tiba-tiba Pendhi datang dan heran melihat teman-temannya yang tertawa terbahak-bahak. ”Ada apa nih...yah..ketinggalan cerita deh,” Pendhi berkata melas. Teman-temannya makin tertawa  melihat wajah Pendhi yang kaya wartawan kehilangan berita. Memang Pendhi terkenal sebagai wartawan ulung di kelasnya.


Tertawa pun reda. ”Duh..jadi haus dech, air dong,” Plekek minta air pada Krisna.

”Tuh di plastik hitam,” jawab Krisna cuek bebek.

Plekek pun langsung mengambil salah satu dari beberapa plastik hitam yang berada di dekat tas Krisna.

”Kebetulan deh, dingin-dingin gini. Eh dapat air anget. Bagai orang ngantuk disodori bantal, sip,” Plekek sumringah seneng. Sementara Danang dan Pendhi justru tersenyum mencurigakan. ”Pasti deh.....” Tari ikut tersenyum.

Sesaat setelah senyuman itu, terdengar makian Plekek. ”Katanya Frend, kok pada ngerjain gue ya. Teganya!!” Plekek bersungut-sungut. Ternyata..botol dalam plastik hitam yang diambil plekek, air hangat itu bisa menghangatkan tubuh kalau digunakan untuk membuat api unggun. ”Rasain lo, kayak anak pedalaman aja. Ndak bisa bedain air minum sama minyak tanah.” ungkap Danang sambil tertawa puas.

Pendhi Sumringah. ”Ini baru cerita..!”

Semua tertawa terbahak-bahak kecuali Plekek yang menjadi korban. Ia meringis kuda, jelek banget!


Akhirnya Adzan Magrib terdengar dan mereka menunaikan kewajibannya, mendekatkan diri pada yang kuasa. Langkah-langkah kelima remaja ini diwarnai canda dan tawa menuju basecamp pendakian Merbabu. Benar-benar smiling tour.....
 Asli, tulisan tanpa di edit. Masih ada Lo dan GUEnya,,

Hahaha, begitulah sepenggal Kisal Klasik yang indah tersebut,
Beruntung Sahabatku Tari menulisnya...dan aku masih saja tertawa terbahak-bahak kalau membacanya.
Kisah ini ditulis pada 5 Juni 2001...saat kami masih REMAJA :D

2 komentar: